Hama Jambu Mete
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jambu mete (Anacardium
occidentale L.) merupakan komoditas ekspor yang memiliki nilai jual cukup
tinggi dan relatif stabil dibanding komoditas ekspor Indonesia lainnya.
Walaupun nilai ekspor gelondong mete pernah mengalami penurunan pada tahun 2000
dan 2001, nilai ini melonjak kembali pada tahun 2002 dan 2003, dan pada akhir
2006 nilainya mencapai US$ 409.081.000 dengan volume 494.471 M ton (BPEN 2007).
Harga jual dalam Negeri pun cukup tinggi, berkisar antara Rp37.500-Rp47.000/kg
(Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a).
Kondisi gelondong mete
Indonesia dalam perdagangan mete internasional masih jauh di bawah negara
produsen gelondong lainnya seperti Tanzania, yaitu hanya sekitar 10,1%. Negara
tujuan ekspor utama gelondong mete Indonesia adalah India dan hanya memenuhi
45% dari kebutuhan untuk pengolahan mete (Direktorat Jenderal Perkebunan
2006b), serta India memiliki kebijakan melarang impor kacang mete agar
industrinya berjalan sepanjang tahun (Indrawanto et al. 2001). Tujuan
ekspor kacang mete India terkonsentrasi ke Amerika Serikat (48%) dan Eropa
(28%). Kekuatan monopoli India dan posisi tawar Amerika Serikat yang cukup kuat
dalam perdagangan mete membuat Indonesia sulit menembus pasar dunia dan harus
memiliki daya saing yang tinggi melalui kesatuan kinerja dari lima subsistem
agribisnis (Indrawanto et al. 2003).
Permasalahan utama pada
usaha tani jambu mete Indonesia adalah produktivitas dan mutu kacang mete yang
masih rendah sehingga harganya pun lebih rendah dibandingkan kacang mete dari
negara lain (Ferry et al. 2001). Areal pengembangan jambu mete cukup
luas dengan penghasil utama saat ini adalah Nusa Tenggara Timur dengan luas
areal 147.093 ha, diikuti oleh Sulawesi Tenggara dengan luas 121.135 ha,
Sulawesi Selatan 80.130 ha, Jawa Timur 57.733 ha, Nusa Tenggara Barat 55.698
ha, dan Jawa Tengah 30.423 ha, dengan luas keseluruhan mencapai 595.111 ha
(Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a).
Organisme pengganggu
tumbuhan yang utama pada tanaman jambu mete adalah hama. Serangan hama
menyebabkan kematian tanaman serta produktivitas dan mutu biji rendah. Jenis
dan luas serangan hama utama bervariasi pada tiap sentra jambu mete. Di lima
sentra produksi utama, serangan Helopeltis spp. Mencapai luas paling
tinggi saat ini. Hama penting kedua pada jambu mete berbeda di masingmasing
provinsi, yaitu Sanurus indecora di Nusa Tenggara Barat, Thrips sp.
di Nusa Tenggara Timur, rayap di Sulawesi Selatan, dan Cricula sp. di
Yogyakarta (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006). Berbeda dengan
hama-hama jambu mete
lainnya yang muncul di setiap sentra produksi walaupun hanya
sedikit, S. indecora merupakan hama baru dan hanya ditemukan di Lombok.
Berdasarkan fenomena yang ditemukan di alam, diketahui bahwa
kelimpahan populasi serangga beserta sebarannya berbeda dari satu tempat ke
tempat lainnya atau dari satu waktu ke waktu berikutnya. Artinya, kelimpahan
populasi serangga tersebut tidak akan punah atau terus
menurun sampai populasi
menghilang. Banyak faktor yang memengaruhi keseimbangan populasi hama di alam serta sangat kompleks dan
setiap ahli memiliki pendapat yang berbeda (Karmawati 1983). Namun secara umum,
faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor biotik dan abiotik (Krebs
1978).
Apabila kelimpahan populasi hama terus meningkat, berarti ada indikasi
satu atau beberapa faktor tidak berfungsi untuk mengendalikan hama, atau ada
input dari luar yang menekan bekerjanya salah satu faktor tersebut. Oleh karena
itu, memerhatikan faktor-faktor dalam ekosistem merupakan keharusan.
II.
ISI
v
Perkembangan
Hama Jambu Mete
Hama merupakan salah satu kendala produksi pada tanaman jambu
mete di Indonesia. Serangan hama terjadi sejak tanaman di pembibitan sampai
berproduksi, bahkan di gudang penyimpanan hasil. Sebaran dan kerusakan yang
ditimbulkan oleh hama jambu mete belum tercatat dengan baik karena semula
tanaman tersebut hanya untuk konservasi, tanaman pekarangan atau tanaman sela.
Namun dalam 15 tahun terakhir, karena jambu mete mulai ditanam secara
monokultur pada areal yang luas, masalah hama menjadi penting untuk
diperhatikan.
Hama utama pada jambu mete
mengalami perubahan dalam 10 tahun terakhir akibat perubahan ekosistem atau
lingkungan dan perilaku manusia (Rauf 2004). Hasil pengamatan di delapan
provinsi pengembangan menunjukkan, minimal ada delapan jenis hama yang
ditemukan,
namun hanya dua jenis yang merusak dan merugikan, yaitu Cricula
trifenestrata (Saturniidae: Lepidotera) dan Helopeltis antonii Sign
(Heteroptera: Miridae) (Wikardi et al. 1996). Beberapa tahun setelah itu,
C. trifenestrata tidak lagi menjadi hama utama karena petani
melaksanakan pengendalian secara mekanis dengan memungut setiap kepompong hama
tersebut pada tanaman jambu mete. Petani mendapat imbalan sesuai dengan jumlah
kepompong yang diperoleh. Kepompong dimanfaatkan sebagai campuran dalam
pembuatan kain sutera.
Serangan Helopeltis
anacardii di beberapa negara Asia Selatan, India, dan Afrika Timur
menyebabkan kerusakan pucuk hingga 80% tiap pohon (Rickson dan Rickson 1998).
Sementara itu, Mandall (2000) menyebutkan bahwa serangan Helopeltis spp.
pada tanaman jambu mete menyebabkan kerusakan sebesar 25% pada pucuk, 35% pada
karangan bunga, dan 15 % pada buah muda.
Helopeltis spp. dikenal sebagai kepik pengisap (cashew sucker)
karena nimfa dan imago mengisap cairan tumbuhan pada pucuk muda, tunas, bunga,
gelondong, dan buah muda. Setelah cairan diisap, air liurnya yang sangat
beracun dikeluarkan dan tempat yang terkena akan melepuh dan berwarna coklat
tua. Serangan pada pucuk dan daun muda mengakibatkan bagian tanaman tersebut mongering
dan mati pucuk. Bunga yang terserang menjadi hitam dan mati, kadang bekas
tusukan serangga ditandai dengan keluarnya gum. Buah muda yang terserang berbercak
hitam, bila diserang beserta gelondongnya maka seluruhnya akan menjadi hitam.
Jika yang diserang buah tua, titik-titik hitam akan terlihat pada buah semunya.
Kerugian hasil yang
disebabkan oleh Helopeltis spp. belum diketahui secara pasti karena
masing-masing provinsi memberikan penaksiran yang berbeda. Pada tahun 2004,
taksasi kehilangan hasil karena serangan Helopeltis spp. mencapai Rp1,23
miliar (Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat 2005). Di Nusa Tenggara Timur,
kerugian akibat serangan Helopeltis spp. pada akhir tahun 2006 mencapai
Rp10 miliar, dan 90% dari serangan ini berada di Flores Timur. Di DI
Yogyakarta, kerugian akibat serangan Helopeltis spp. Hanya mencapai
Rp2,5 miliar (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006).
Dengan melihat gejala yang terjadi di lapangan, dapat
disimpulkan bahwa makin dini tanaman diserang, kerugian yang ditimbulkan makin besar karena satu
pucuk atau satu karangan bunga sehat berpeluang untuk menghasilkan beberapa
buah.
v Pengendalian Hama Jambu
Mete Berbasis Ekologi
Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, ledakan hama tidak terjadi secara spontan tetapi karena adanya
perubahan atau pergeseran beberapa faktor dalam lingkungan efektifnya. Clark et
al. (1967) menyatakan bahwa kelimpahan populasi dipengaruhi oleh faktor
genetik dari individu spesies dan lingkungan efektifnya, yang kemudian
mengalami evolusi. Munculnya hama sekunder menjadi hama utama pada jambu mete menunjukkan
adanya perubahan dalam ekosistem.
Salah satu penyebabnya adalah musuh
alaminya tidak dapat lagi mempertahankan
populasi hama agar tetap berada dalam
jumlah yang tidak merugikan. Tanpa disadari,
sebenarnya
para petani bergantung pada
kekuatan musuh alami yang tersedia di lahannya masing-masing. Proporsi musuh
alami hama utama pada jambu mete terbukti lebih banyak dibanding serangga hama
dan serangga penyerbuk. Keseimbangan populasi serangga dan musuh alaminya di alam
harus dilestarikan agar pengelolaan serangga dalam sistem pertanian
berkelanjutan.
v Pengendalian Hama Terpadu
Ramah Lingkungan
PHT merupakan bagian dari
budi daya tanaman dan telah mendapat perhatian dari pemerintah dengan
dikeluarkannya UU No.12 tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman dan PP No. 6 tahun
1995. Disebutkan bahwa pelaksanaan PHT menjadi tanggung jawab petani dan
dibantu oleh pemerintah. Konsep PHT sebenarnya telah dicetuskan sejak lama dan
terus diperbaiki sesuai dengan kebutuhan. NAS (1969) menyatakan bahwa PHT
adalah pemanfaatan semua teknik yang kompatibel untuk mempertahankan populasi
hama di bawah tingkat kerusakan ekonomi, atau memadukan semua sistem
pengendalian ke dalam suatu sistem yang harmonis untuk mempertahankan populasi
hama di bawah tingkat yang merugikan. Smith (1978)
memperbaiki definisi tersebut
bahwa PHT adalah pendekatan pengelolaan populasi secara ekologi dan
multidisiplin dengan memanfaatkan semua teknik secara kompatibel. Sistem
pengendalian yang bersifat alami harus didahulukan. Kedua konsep tersebut
menunjukkan bahwa pengendalian hama harus memadukan berbagai komponen dengan
tetap memerhatikan kelestarian ekologi dan sedikit mungkin input dari luar.
v Manfaat Musuh Alami dalam Pengendalian
Hama Jambu Mete
PHT lebih menekankan pada pemanfaatan musuh alami dibanding
penggunaan insektisida. Ini berarti bahwa penggunaan insektisida akan berkurang
dalam input produksi petani. Pengurangan penggunaan insektisida akan
mendatangkan keuntungan yang lebih besar, walaupun hasil yang diperoleh tetap. Keuntungan
lain dengan menggunakan musuh alami adalah tidak adanya residu pestisida pada
produk perkebunan. Adanya residu pestisida dalam produk perkebunan akan
mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional, terutama di
negara-negara yang konsumennya telah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap
lingkungan, seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.
Musuh alami yang berperan
penting dalam menekan populasi hama jambu mete cukup banyak dan dapat menjaga
keseimbangan ekosistem. Musuh alami ini dapat berupa parasit, predator atau
patogen. Peran masing-masing musuh alami dalam menekan populasi hama terlihat
dalam jejaring makanan jambu mete (Benigno 2002). Parasitoid yang dapat menekan
populasi H. antonii, H. theivora dan H. bradyi adalah Apanteles
sp., Euphorus helopeltidis Ferr., Erythmelus helopeltidis Gah,
dan Telenomus. Untuk predatornya adalah O. smaragdina,
Dolichoderus bituberculatus Mayr, cocopet, dan Chrysopa busalis. Patogen
yang banyak digunakan saat ini
adalah Beauveria bassiana. Penggunaan patogen ini sama
efektifnya dengan semut predator untuk mengendalikan Helopeltis spp. (Karmawati
et al. 2007a). Musuh alami yang ada di alam perlu dijaga kelestariannya dan
ditingkatkan perannya bila fungsinya menurun.
v Insektisida Nabati
Kenyataan di lapang
menunjukkan bahwa petani sampai saat ini belum dapat melepaskan diri dari
pestisida, walaupun harganya relatif mahal, karena mudah digunakan dan hasilnya
dapat dilihat langsung setelah perlakuan. Dalam menghadapi tantangan yang
demikian, perlu dipilih alternatif pengendalian yang cara kerjanya mirip dengan
insektisida tetapi tidak memberikan efek negatif bagi lingkungan. Salah satu
alternatif pengendalian hama yang murah, praktis, dan relatif aman bagi
kelestarian lingkungan adalah insektisida yang bahan bakunya berasal dari
tumbuhan. Insektisida tersebut dapat dibuat dengan teknologi yang sederhana,
dan mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar, termasuk
manusia dan hewan.
Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia berupa
metabolit sekunder yang digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan alami
terhadap serangan organisme pengganggu. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bioaktif.
Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang
termasuk ke dalam 235 famili
dilaporkan mengandung bahan pestisida (Kardinan 1999). Oleh karena itu, apabila
tumbuhan tersebut dapat diolah menjadi bahan pestisida maka petani akan sangat
terbantu dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya.
v Tantangan dan Peluang
Pengendalian Hama Jambu Mete
Ø Kendala dan Tantangan
Serangga akan berubah statusnya menjadi hama jika keseimbangan
populasinya di alam terganggu, yaitu kelimpahan populasinya di atas ambang yang
merugikan tanaman. Ada beberapa faktor yang memengaruhi keseimbangan populasi ini di
alam (Rauf 2004), yang sekaligus menjadi tantangan dalam pengelolaan serangga hama.
Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah perubahan iklim, peralihan tumbuhan inang,
perubahan biologi tanaman inang, perubahan biologi hama, perubahan teknik
bercocok tanam, dan invasi dari luar.
Iklim merupakan salah satu faktor yang menentukan keseimbangan
populasi. Iklim dikelompokkan menjadi iklim mikro dan iklim makro. Iklim makro
menentukan distribusi dan kepadatan populasi, sedangkan iklim mikro memengaruhi
distribusi lokal atau pola pencaran/sebaran suatu spesies hama dalam zona
tertentu dalam iklim makro yang sama (Sukowati 2004). Pada pertanaman jambu
mete, iklim mikro ditentukan oleh percabangan yang makin banyak dan tumpang
tindih sehingga kelembapan nisbi menjadi rendah. Tantangan yang dihadapi di
sentra produksi adalah petani enggan untuk melakukan pemangkasan cabang yang
tidak produktif.
Helopeltis spp. dan S. indecora mempunyai rentang tanaman inang yang
sangat lebar (Kalshoven 1981; Siswanto et al. 2003a). Kedua hama ini
memiliki wilayah serangan berat yang berbeda dalam tiga tahun terakhir. S.
indecora menyerang pertanaman jambu mete di Lombok Barat dan Helopeltis spp.
banyak menyebabkan kerusakan pertanaman jambu mete di Dompu. Dengan banyaknya
tanaman inang alternatif, hama menjadi mudah untuk mempertahankan hidup dan memperbanyak
diri. Untuk Helopeltis spp., selain kakao dan teh, tanaman inang
alternatif lainnya adalah berbagai jenis gulma terutama babadotan, ubi kayu,
dan antanan. Tantangan yang dihadapi di lapangan adalah pertumbuhan gulma pada
pertanaman jambu mete hampir mencapai kanopi dan petani enggan membersihkannya.
v Arah Pengendalian
Arah pengendalian hama
adalah menciptakan infrastruktur ekologi yang seimbang dalam agroekosistem
dengan melengkapi sumber energi yang diperlukan, seperti makanan bagi musuh
alami, mangsa atau inang alternatif bagi musuh alami, dan perlindungan dari
cuaca yang merugikan. Hal demikian sudah lama ditinggalkan karena petani lebih
memilih pengendalian yang cepat memberi hasil tetapi tidak berkelanjutan.
Dengan pendekatan tersebut, sistem pembangunan pertanian tidak lagi back to
nature tetapi back to basic.
Manipulasi ekologi juga
dapat dilakukan dengan memberikan lingkungan yang tidak nyaman bagi
perkembangan Helopeltis spp., yaitu memangkas tajuk tanaman inang agar
cahaya matahari masuk ke kanopi serta membersihkan gulma yang menjadi inang
alternatif karena serangga hama tersebut sangat sensitif terhadap radiasi
matahari. Inang alternative bagi hama utama sebaiknya tidak dihadirkan bersama
dalam satu kebun dengan inang yang dibudidayakan.
v Strategi Pengembangan
Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian hama dirasakan menjadi salah satu input yang
memberatkan petani. Apabila teknologi yang diterapkan belum mampu menekan biaya
produksi dan meningkatkan pendapatan serta sulit dilaksanakan maka teknologi tersebut
belum sesuai dengan kondisi petani kecil di Indonesia. Teknologi yang diperlukan
adalah yang efektif, efisien, aman, murah, dan mudah diterapkan. Oleh karena
itu, strategi yang prospektif dalam mengembangkan PHT yang berbasis ekologi adalah:
(1) pemanfaatan dan perekayasaan lingkungan pertanaman jambu mete (kembali ke
prinsip dasar PHT) dan (2) pengkajian skala luas di beberapa agroekologi sekaligus
melanjutkan pembinaan pemandu dan petani dalam wadah SLPHT.
Pemanfaatan lingkungan pertanaman sangat erat hubungannya dengan
SLPHT karena kegiatan pokok SLPHT adalah analisis agroekosistem dan pengambilan
keputusan. Seluruh peserta sekolah lapang berpartisipasi aktif dalam
pengumpulan data aktual lapangan, pengkajian data, dan pengambilan keputusan
manajemen lahan. Kegiatan analisis agroekosistem ini bermanfaat dalam penajaman
pandangan petani dan petugas terhadap ekologi local serta memudahkan proses
pengelolaan ekologi lokal.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Seiring dengan perkembangan jambu mete di sentra produksi,
penanaman jambu mete secara monokultur menimbulkan masalah hama dan penyakit. Namun
dari beberapa jenis serangga yang telah diidentifikasi, Helopeltis spp.
merupakan hama penting dan menyebabkan kerugian yang bervariasi antardaerah
menurut luas serangannya.
2. Kelimpahan populasi Helopeltis spp. berbeda antar daerah
yang terserang karena faktor kunci yang berbeda pada agroekosistem. Namun,
umumnya populasi Helopeltis spp. akan muncul pada pertanaman jambu mete
seiring dengan tersedianya makanan pada akhir musim hujan, yaitu tunas atau pucuk.
Curah hujan berkorelasi positif dengan ketersediaan makanan, begitu pula antara
ketersediaan makanan dan populasi Helopeltis spp.
3. Strategi pengembangan yang
disarankan adalah pemanfaatan dan perekayasaan lingkungan pertanaman jambu mete
yang didahului dengan analisis agroekosistem, serta menata kembali pembinaan
pemandu dan petani dalam wadah SLPHT.
DAFTAR PUSTAKA
Benigno,
E.A. 2002. ETL Calendar. Cashew ETL. Xls/Helopeltis.
Clark, L.R., P.W. Geier, R.D.
Hughes, and R.F. Morris. 1967. The Ecology Insect Populations in Theory and
Practice. Halsted Press Book, London.
Dinas Perkebunan Provinsi
Nusa Tenggara Barat. 2005. Laporan Tahunan Sub-Dinas Bina Produksi dan
Perlindungan Tanaman. Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram.
hlm. 46.
Direktorat Perlindungan
Tanaman Perkebunan. 2006. Data Lepas. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Ferry, Y., J.T. Yuhono, dan
C. Indrawanto. 2001. Strategi Pengembangan Industri Mete Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 8-9.
Kardinan, A. 1999. Pestisida
Nabati: Ramuan dan aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta. 88 hlm.
Karmawati, E. 1983. Dinamika
populasi serangga. Makalah Pendukung Ekologi Serangga. Institut Pertanian
Bogor. 62 hlm.
Rauf, A. 2004. Entomologi
dalam perubahan lingkungan dan sosial: Perspektif pertanian. Disampaikan pada Seminar
Nasional IV Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor, 5 Oktober 2004. 6
hlm.
Komentar
Posting Komentar